Breaking News

Tempe di Tengah Era Modernisasi, Hairudin Tetap Lestarikan Cara Tradisonal Turun Temurun




BULELENG, Global Netizen id 
Di tepi pesisir Pantai Taman Sari, aroma khas kedelai yang tengah difermentasi 
menyambut siapa saja yang melintas di Jalan Pulau Sugara Kelurahan Kampung Baru. Kawasan 
ini bukan hanya dikenal dengan pemandangan lautnya, tetapi juga sebagai sentra produksi tempe 
yang telah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Di antara rumah-rumah warga yang padat, berdiri 
usaha tempe milik Hairudin, seorang pengusaha lokal yang telah mengabdikan hidupnya pada 
olahan protein nabati sejak usia belia. 


Usaha yang kini dikelolanya merupakan warisan sang ayah yang mulai dirintis sejak 
tahun 1970. 


“Saya sudah dari muda ikut bantu orang tua bikin tempe. Sampai sekarang tetap 
saya lanjutkan,” ujar Hairudin saat ditemui pada Jumat,(5/9). Di usianya yang menginjak 57 
tahun, semangatnya untuk menjaga cita rasa tempe tradisional tak pernah surut. Bahkan, ia 
melibatkan enam tetangganya sebagai karyawan. Tiga untuk membantu proses produksi tempe, 
tiga lainnya untuk tahu, produk sampingan berbahan dasar kedelai yang juga ia produksi. 


Kabupaten Buleleng sendiri dikenal sebagai wilayah yang mendorong pertumbuhan 
UMKM lokal. Berdasarkan data klasifikasi usaha yang bersumber pada satu data Pemkab. Buleleng, jumlah usaha kecil di Buleleng meningkat dari sekitar 9.576 pada tahun 2020 menjadi 12.107 pada tahun 2024. Lingkungan yang mendukung ini turut memberikan ruang bagi usaha-usaha rumahan seperti milik Hairudin untuk bertahan dan berkembang. 


Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Perdagangan, Perindustrian, 
Koperasi dan UKM (Disdagperinkop UKM) aktif memfasilitasi pelatihan dan pendampingan agar UMKM lebih berdaya saing. Dulu, tempe buatan Hairudin dibungkus dengan daun pisang yang memberi aroma khas dan kesan alami. Kini, bungkus plastik menjadi pilihan utama karena lebih praktis dan mudah  didapatkan. 


Namun demikian, proses pembuatan tempe masih mempertahankan unsur manual yang diwariskan secara turun-temurun. Mesin hanya digunakan untuk beberapa tahap, seperti 
menggiling kedelai atau mengaduk adonan.


 “Kita tetap pakai cara lama. Tapi untuk efisiensi 
waktu, beberapa proses dibantu mesin,” jelasnya. 


Proses pembuatan tempe dimulai dari merendam dan merebus kedelai, mengupas 
kulitnya, lalu dikeringkan sebelum dicampur dengan ragi. Menariknya, Hairudin menggunakan 
dua jenis ragi sekaligus, ialah ragi instan dan ragi alami yang berasal dari pohon waru. Campuran 
tersebut kemudian dibungkus dan disimpan untuk fermentasi selama empat hari.


 “Kalau cuaca 
cerah, tempe jadi lebih cepat. Tapi kalau mendung, fermentasinya lambat, jadi raginya saya 
tambah,” ujarnya. 

Hairudin memproduksi sekitar 100 kilogram tempe setiap harinya. Penjualannya menjangkau berbagai lapisan masyarakat, mulai dari warga sekitar yang membeli langsung ke rumah produksi hingga pedagang pasar yang datang membeli dalam jumlah besar.


 Selain itu, ia juga menerima pesanan secara online. Beberapa kali ia bahkan mengirim pesanan dalam jumlah 
besar ke luar wilayah pusat kota, seperti Lovina dan Bebetin. “Itu yang paling jauh saya pernah 
antar,” ucapnya.  


Harga jualnya pun bervariasi sesuai ukuran, untuk tempe berukuran kecil dihargai sebesar 
Rp4.000, ukuran sedang Rp7.000, dan ukuran besar seharga Rp9.000 per potong sehingga dapat 
dijangkau oleh konsumen dari berbagai kalangan.  Salah satu pelanggan tetapnya, Ketut Eti mengaku telah membeli tempe dari Hairudin selama bertahun-tahun. “Tempe Pak Hairudin itu 
beda rasanya, lebih gurih dan awet. Saya sudah coba beli dari tempat lain, tapi tetap balik lagi ke 
sini,” ujarnya. 


Meski proses pembuatan tempe belum bisa sepenuhnya dimodernisasi, terutama karena 
belum ada alat yang dapat mempercepat fermentasi Hairudin tetap optimis. Ia berharap kelak 
anak cucunya mau melanjutkan usaha keluarga ini. “Saya ingin usaha ini tetap jalan, jangan 
sampai berhenti di saya. Ini warisan keluarga,” ungkapnya. 


Di tengah derasnya arus modernisasi, 
Hairudin membuktikan bahwa tradisi bisa tetap hidup jika diiringi semangat menjaga kualitas, 
kesederhanaan, dan ketulusan. Tempenya bukan sekadar makanan, melainkan hasil dari kerja 
keras dan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. (TIM)
© Copyright 2022 - Global Netizen