Breaking News

Sense of Bureaucracy: Ketika Integritas Saja Tak Cukup di Dunia Pemerintahan



JAKARTA, Global Netizen, id 
Penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook untuk program digitalisasi pendidikan, memicu diskusi tajam di ruang publik. Salah satu suara yang cukup mencuri perhatian datang dari Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, yang menyebut Nadiem sebagai sosok yang bersih, namun “tidak paham birokrasi dan pemerintahan.” Pernyataan ini disampaikan Mahfud dalam sebuah podcast di kanal YouTube miliknya.

Lantas, seberapa penting pemahaman atas birokrasi negara bagi seorang pejabat publik, terutama menteri?

Pertanyaan ini dijawab panjang lebar oleh Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A., Guru Besar IPDN, dalam wawancara langsung dengan Radio Elshinta pada Rabu, 10 September 2025. Dalam sesi yang membedah akar korupsi di tubuh kementerian, Prof. Djohermansyah menjelaskan bahwa integritas saja tak cukup untuk menyelamatkan seorang pejabat dari jeratan sistem birokrasi yang kompleks—dan kadang berbahaya.


Dari Pebisnis ke Menteri: Risiko Ketidaktahuan Birokrasi

"Kalau ada orang bersih masuk ke pemerintahan, tapi tidak punya kemampuan menjaga integritas di tengah sistem yang kotor, maka orang bersih itu bisa larut dan ikut menjadi kotor," ujar Djohermansyah.

Menurutnya, Nadiem adalah contoh klasik dari pebisnis yang masuk ke wilayah birokrasi tanpa bekal pengalaman memadai. Nadiem, sebagai pendiri Gojek, tentu terbiasa dengan birokrasi korporasi yang cenderung lebih fleksibel. Namun, ketika masuk ke sistem pemerintahan yang dikelola oleh uang negara, prinsip-prinsip yang berlaku pun berubah total.

"Ada aturan ketat. Uang rakyat dikelola dengan mekanisme pengawasan berlapis, mulai dari WBN (Wajib Belanja Negara), hingga proses pengadaan barang dan jasa yang sangat ketat," jelas Djohermansyah.

Menurutnya, dalam dunia pemerintahan, tidak bisa ada kebijakan yang hanya berdasarkan inisiatif pribadi tanpa prosedur. Semua harus tunduk pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik.


Kritik terhadap Pola Pengangkatan Pejabat Era Jokowi

Prof. Djohermansyah juga menyoroti pola pengangkatan menteri dan pejabat tinggi negara di era Presiden Joko Widodo yang menurutnya cenderung mengabaikan prinsip dasar kepemimpinan publik, seperti:

Kompetensi teknis,

Integritas pribadi,

Akuntabilitas terhadap publik, dan

Kapabilitas manajerial dalam birokrasi.


"Kalau saya lihat, praktik pengangkatan pejabat di era Jokowi ini agak gegabah. Seringkali berdasarkan like and dislike, bukan pada hitungan yang matang terhadap kapasitas teknikal dan manajerial seorang calon pejabat," tegasnya.

Menurutnya, banyak posisi penting justru diisi oleh tokoh-tokoh populer atau profesional dari luar birokrasi, yang meski memiliki prestasi di sektor swasta, tidak siap menghadapi kompleksitas dan rigiditas sistem birokrasi negara.

Akibatnya, tidak sedikit yang kemudian tersandung persoalan hukum, atau gagal mendorong reformasi birokrasi di instansi yang mereka pimpin.


Korupsi: Tiga Pola, Satu Masalah Sistemik

Prof. Djohermansyah menguraikan tiga pola umum korupsi dalam pemerintahan:

1. Korupsi oleh birokrasi — di mana aktor utamanya adalah ASN atau pejabat struktural kementerian.


2. Korupsi oleh politisi/pejabat negara — yang masuk dan menyalahgunakan wewenang demi kepentingan pribadi.


3. Kombinasi keduanya — kolusi antara birokrasi dan politisi, yang memperkuat dan melanggengkan praktek korupsi.



“Dalam kasus Nadiem, kita perlu melihat lebih dalam: apakah yang korup itu birokrasinya? Atau ada aktor lain, politisi atau koleganya, yang bermain di belakang layar untuk mengambil keuntungan dari proyek pemerintah?” tanya Djohermansyah.


Tanda Tangan yang Beracun

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa banyak pejabat publik di Indonesia yang dijerat kasus hukum hanya karena tanda tangan mereka ditemukan dalam dokumen pengadaan yang bermasalah—terlepas dari apakah mereka benar-benar menikmati aliran dana korupsi atau tidak.

“Kita lihat beberapa pejabat yang sudah pensiun, tiba-tiba dipanggil sebagai tersangka karena dokumen yang mereka tandatangani dulu menjadi barang bukti penyimpangan,” ungkapnya. “Tanda tangan bisa jadi beracun.”

Ini pun berlaku dalam kasus Nadiem, sebagaimana juga terjadi pada eks Kepala BKPM Thomas Lembong, yang walaupun tidak menerima aliran dana, tetap terseret dalam pusaran hukum sebelum akhirnya mendapatkan abolisi.


Menteri Bukan Hanya Butuh Niat Baik

Prof. Djohermansyah menekankan bahwa pejabat publik di level menteri harus memiliki kombinasi integritas, pengetahuan, dan pengalaman birokrasi. Memimpin sebuah kementerian bukan sekadar soal visi dan niat baik, tetapi soal menggerakkan roda lembaga yang besar, kompleks, dan penuh jebakan prosedural.

“Seorang menteri membawahi ribuan ASN, dari eselon I hingga IV. Ada sekjen, dirjen, irjen, kepala badan, dan lain-lain. Semua ini harus dikelola dengan benar. Kalau tidak tahu sistemnya, dan hanya asal perintah, maka bisa celaka,” tegasnya.

Lebih jauh, ia mencontohkan negara seperti Jepang, di mana banyak menteri berasal dari kalangan birokrat karier yang naik pangkat melalui rekam jejak profesional, bukan sekadar popularitas politik. Hasilnya, mereka punya sense of bureaucracy yang kuat.


Catatan Kritis untuk KPK dan Masa Depan Birokrasi

Tak hanya menyoroti individu, Prof. Djohermansyah juga memberikan catatan kritis terhadap KPK yang seharusnya tidak hanya bertindak saat korupsi sudah terjadi, tetapi aktif dalam pencegahan sistemik. Edukasi antikorupsi, peningkatan profesionalisme ASN, dan pembenahan sistem pengadaan harus menjadi agenda utama lembaga antirasuah ini.

Ia juga menegaskan bahwa penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa upaya reformasi masih jauh dari kata berhasil.

Kasus Nadiem Makarim menjadi peringatan penting bahwa integritas—meskipun vital—tidak cukup sebagai satu-satunya modal kepemimpinan publik. Seorang pejabat negara, apalagi menteri, membutuhkan pengetahuan birokratis, pengalaman institusional, dan kemampuan manajerial yang teruji. Tanpa itu, niat baik pun bisa berubah jadi bumerang.

Karena di dunia birokrasi pemerintahan, tanda tangan bisa menyelamatkan kebijakan, atau justru menjadi awal dari kehancuran karier dan reputasi.
© Copyright 2022 - Global Netizen