Breaking News

perlindungan masyarakat Hukum adat


TANGERANG, MINGGU 09/11/2025 (Antara Pengakuan dan Pengecualian dalam Regulasi Ruang Hidup)
HUKUM adat adalah sistem hukum tertua yang hidup dan berkembang jauh sebelum lahirnya hukum nasional Indonesia. Ia tidak lahir dari teks undang-undang, melainkan dari praktik sosial yang diwariskan lintas generasi. Dalam masyarakat Nusantara, hukum adat telah lama mengatur relasi antarindividu, komunitas, dan alam sekitarnya, termasuk dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah.

Maka, ketika hukum nasional lahir pascakemerdekaan, hukum adat bukanlah entitas asing yang harus disingkirkan, melainkan fondasi yang memberi warna dan arah bagi sistem hukum agraria nasional. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 secara eksplisit mengakui hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Pengakuan ini menegaskan bahwa negara berdiri di atas tatanan sosial dan hukum yang telah ada. Tanah, dalam pandangan adat, bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga bagian dari sistem spiritual dan sosial yang mengikat komunitas dengan leluhur dan keturunannya.

Dalam konteks inilah, hak ulayat atau tanah komunal masyarakat adat menjadi simbol keadilan lintas generasi, milik nenek moyang di masa lalu, masyarakat yang hidup sekarang, dan anak cucu yang akan datang. Berbeda dari sistem kepemilikan pribadi yang dikenal dalam hukum Barat, tanah ulayat tidak bisa dijual atau dialihkan secara mutlak. Pengelolaannya dilakukan berdasarkan musyawarah dan kesepakatan bersama.

Tanah dianggap sebagai titipan, bukan aset individual. Inilah yang membedakan masyarakat hukum adat dari struktur keluarga kerajaan atau kesultanan, yang bersifat familial dan hierarkis. Dalam komunitas adat, keputusan terkait tanah bersifat kolektif dan dijalankan melalui lembaga adat seperti ninik mamak, kepala suku, atau dewan adat. Kepemilikan bersifat sosial dan spiritual, bukan feodal.

Namun, ketika negara modern berdiri, hubungan manusia dengan tanah mengalami pergeseran makna. Negara kemudian memperkenalkan konsep “tanah negara” dan “tanah milik negara”, dua istilah yang sering disalahpahami sebagai hal yang sama. Tanah negara sejatinya adalah tanah yang tidak dimiliki pihak mana pun, di mana negara hanya bertindak sebagai pengatur dan penguasa untuk kepentingan publik.

Sebaliknya, tanah milik negara berarti tanah yang dimiliki langsung oleh negara untuk fungsi pemerintahan, seperti gedung, jalan, atau fasilitas publik. Sayangnya, pembedaan ini sering kabur dalam praktik, menyebabkan banyak tanah ulayat “diklaim” sebagai tanah negara hanya karena tidak terdaftar dalam sistem administrasi nasional. Padahal, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kewenangan negara di sini bersifat organisasional, bukan kepemilikan absolut. Negara seharusnya menjadi pengelola yang menjamin keseimbangan antara pembangunan dan keadilan sosial, bukan pemilik yang berhak mengambil tanah adat atas nama kepentingan nasional.

Dalam teori hukum publik, posisi negara adalah sebagai organisator, bukan proprietor (pemilik). Oleh karena itu, pengakuan terhadap tanah adat harus dilihat sebagai bagian integral dari fungsi negara untuk melindungi hak-hak dasar rakyatnya. Putusan MK dan pergeseran paradigma hukum kehutanan Pergeseran penting dalam relasi antara negara dan masyarakat hukum adat tampak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-XXII/2024. Mahkamah menegaskan bahwa masyarakat adat berhak mengelola kebun tradisional di kawasan hutan tanpa izin pemerintah, selama kegiatan itu tidak bersifat komersial dan tidak merusak lingkungan. Putusan ini menggeser paradigma hukum kehutanan Indonesia dari state-based forest governance menuju community-based natural resource management.

Dalam perspektif ini, hutan adalah ruang hidup (lebensraum) yang memelihara keseimbangan ekologis. Baca juga: Dosa Fiskal Whoosh Tak Seharusnya Dipayungi APBN Seperti dikemukakan oleh Elinor Ostrom dalam teori governing the commons, pengelolaan sumber daya oleh komunitas lokal sering kali lebih berkelanjutan dibanding sistem negara atau korporasi, karena diatur oleh norma sosial yang mengutamakan keberlanjutan. Namun, implementasi putusan MK tersebut masih menghadapi tantangan serius. Salah satu masalah krusial adalah batas antara aktivitas “nonkomersial” dan “komersial”. Dalam ekonomi masyarakat adat, kegiatan menanam, memanen, atau menjual hasil hutan bukanlah praktik kapitalistik, melainkan bagian dari sistem sosial untuk bertahan hidup.

James C. Scott menyebutnya sebagai moral economy of the peasant, di mana kerja dan hasil produksi berlandaskan etika subsistensi, bukan akumulasi modal. Ketika negara memaknai kegiatan jual beli hasil hutan sebagai aktivitas komersial, negara sesungguhnya sedang memaksakan kategori ekonomi kapitalistik terhadap sistem yang berbeda secara konseptual. Putusan MK 45/2024 menandai pengakuan penting bahwa hak adat adalah acknowledged rights, bukan granted rights. Negara tidak memberikan hak tersebut, melainkan hanya mengakui hak yang telah ada sebelum negara berdiri. Pengakuan ini seharusnya menjadi dasar bagi kebijakan kehutanan yang inklusif, bukan pengecualian yang bersyarat

Ketegangan antara pengakuan dan penguasaan Meski konstitusi dan putusan MK telah memberikan dasar hukum yang kuat, praktik di lapangan masih memperlihatkan dominasi logika penguasaan negara. Konflik antara masyarakat adat dan pemerintah terjadi di berbagai wilayah, seperti Riau, Meratus, dan Tesso Nilo. Di Riau, Koalisi Masyarakat untuk Marwah Riau (KOMMARI) mencatat bahwa sebagian besar kawasan hutan yang diklaim sebagai “kawasan hutan negara” belum memiliki dasar pengukuhan sah sesuai PP No. 33 Tahun 1970 dan PP No. 44 Tahun 2004. Proses penunjukan sering kali tidak diikuti dengan penetapan, tapi telah dijadikan dasar pengusiran masyarakat adat.

Di Kalimantan Selatan, sekitar 94,8 persen dari 53 juta hektar lahan telah dikuasai korporasi, sementara masyarakat hanya mengelola sekitar 2,7 juta hektar. Ketimpangan yang ekstrem ini mencerminkan kegagalan kebijakan agraria dalam mewujudkan keadilan ekologis. Ironisnya, komunitas adat yang menjaga kelestarian hutan justru dianggap pengganggu atau pelanggar hukum. Di Taman Nasional Tesso Nilo, relokasi warga yang telah tinggal turun-temurun dilakukan atas nama konservasi, tanpa pengakuan terhadap sejarah dan hak ulayat mereka. Pola ini menggambarkan bagaimana konsep “penguasaan negara” sering kali melampaui mandat konstitusional.

Dalam perspektif critical legal studies, kondisi ini menunjukkan dominasi legal centralism, yaitu keyakinan bahwa hanya hukum negara yang sah dan mengikat. Pandangan ini menyingkirkan hukum adat yang hidup di masyarakat. Padahal, teori legal pluralism menegaskan bahwa sistem hukum dalam suatu negara bersifat jamak, ada interaksi antara hukum negara, hukum adat, dan norma sosial. Mengabaikan pluralitas ini berarti mengingkari realitas sosial Indonesia sebagai negara multikultural. Ketika negara memaksakan peta dan izin tanpa konsultasi, yang terjadi adalah bentuk juridical exclusion, penyingkiran secara hukum. Tindakan semacam ini tidak hanya melanggar hak konstitusional masyarakat adat, tetapi juga bertentangan dengan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) sebagaimana diakui dalam UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP).

Artinya, setiap kebijakan terkait ruang hidup harus dibuat dengan partisipasi penuh dan kesepakatan sukarela masyarakat adat yang terdampak.  Karena itu, desakan agar wilayah masyarakat adat dikecualikan dari kategori kawasan lindung, Hutan Tanaman Industri (HTI), atau Hak Guna Usaha (HGU) tidak boleh dipahami sebagai bentuk privilese, tetapi sebagai upaya korektif terhadap ketimpangan struktural. Pengecualian tersebut adalah langkah menuju pemulihan keadilan ekologis, upaya untuk mengembalikan keseimbangan yang telah rusak oleh logika sentralistik dan eksploitatif. Menuju regulasi berkeadilan ekologis Akar konflik masyarakat adat bukan sekadar soal tumpang tindih lahan, melainkan ketimpangan dalam struktur hukum dan kebijakan ruang. Ada tiga dimensi utama yang menjelaskan ketimpangan ini.

Pertama, dimensi regulasi sektoral. Kebijakan agraria, kehutanan, dan perkebunan di Indonesia sering berjalan dengan logika masing-masing yang tidak sinkron. Undang-Undang Kehutanan masih menekankan kontrol negara, sementara kebijakan agraria menekankan redistribusi. Akibatnya, masyarakat adat terjebak di antara dua sistem yang saling tarik menarik. Dalam situasi ini, korporasi justru mendapatkan celah hukum untuk memperoleh izin ganda dan memperluas konsesi mereka. Kedua, ketimpangan penguasaan ruang. Data BPS dan berbagai lembaga masyarakat sipil menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen lahan produktif dikuasai oleh 1 persen populasi. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan politik ruang.

Dalam teori political ecology, penguasaan ruang selalu berkelindan dengan relasi kekuasaan, siapa yang boleh tinggal, siapa yang boleh mengelola, dan siapa yang mengambil manfaat. Ketika negara dan korporasi berkoalisi dalam struktur ekonomi ekstraktif, masyarakat adat yang lemah secara politik menjadi korban paling awal. Ketiga, absennya mekanisme penyelesaian berbasis keadilan ekologis. Konflik tanah dan hutan lebih sering diselesaikan melalui pendekatan administratif: relokasi, kompensasi, atau kriminalisasi. Negara jarang meninjau ulang akar masalah berupa pengakuan hak ulayat. Padahal, konsep environmental justice menekankan bahwa keadilan harus mencakup dimensi pengakuan (recognition), distribusi (distribution), dan partisipasi (participation). Tanpa ketiganya, penyelesaian konflik hanya bersifat kosmetik.

Pengecualian wilayah adat dari kategori kawasan lindung, Hutan Tanaman Industri (HTI), atau Hak Guna Usaha (HGU) dapat menjadi langkah progresif untuk memulihkan keadilan ekologis. Prinsip lex specialis derogat legi generali memberi dasar bahwa hukum adat sebagai hukum yang hidup dapat mengesampingkan hukum nasional yang bersifat umum, selama sesuai dengan nilai keadilan dan keberlanjutan. Namun, kebijakan semacam ini harus diiringi perangkat hukum yang kuat agar tidak disalahgunakan. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang hingga kini tertunda menjadi kebutuhan mendesak. Undang-undang ini akan menyediakan dasar hukum untuk verifikasi wilayah adat, peta partisipatif, dan hak kelola kolektif (communal title).

Tanpa itu, setiap pengakuan hanya bersifat simbolik dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal antarkomunitas. Pengakuan perlu dilanjutkan dengan mekanisme operasional yang memastikan hak ulayat diakui dalam sistem tata ruang dan perizinan nasional. Negara juga perlu menerapkan kebijakan berbasis pengakuan (recognition-based policy), di mana keberadaan masyarakat adat menjadi titik awal dalam setiap keputusan tata ruang. Model pengelolaan bersama atau co-management bisa menjadi solusi realistis. Negara tetap menjalankan fungsi regulatif, tetapi masyarakat adat diberikan ruang nyata untuk mengelola sumber daya berdasarkan kearifan lokal. Skema seperti perhutanan sosial, hutan adat, atau kemitraan konservasi perlu diperluas dan dipertegas agar tidak sekadar menjadi proyek administratif.

Konflik antara masyarakat adat dan negara adalah cermin ketegangan antara dua paradigma hukum: kontrol dan pengakuan. Selama negara memandang dirinya sebagai pemilik tunggal sumber daya, konflik akan terus berulang. Namun, jika negara memosisikan diri sebagai pengelola yang mengakui dan melindungi hak-hak asal-usul masyarakat adat, maka jalan menuju keadilan ekologis dapat terbuka. Masyarakat hukum adat telah membuktikan selama berabad-abad bahwa keberlanjutan tidak membutuhkan birokrasi izin, melainkan etika hidup yang menempatkan manusia dan alam dalam hubungan saling menghormati. Pengakuan terhadap mereka bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi kebutuhan moral bagi masa depan Indonesia yang adil dan lestari.

#DP 
© Copyright 2022 - Global Netizen