
GlobalNetizen.id—Di sebuah sudut Desa Bori, Kabupaten Halmahera Selatan, terbentang sebuah lahan yang awalnya ditanam dengan harapan.
Jagung tanaman sederhana yang mestinya menjadi simbol kemandirian pangan ditanam dengan tujuan membangun desa, menguatkan perut rakyat, dan menjadi kebanggaan bersama namun hari ini, pemandangan itu berubah menjadi ironi paling pahit. Minggu, 21/11.
Batang-batang jagung berdiri rapuh, hampir tak terlihat, tenggelam oleh rumput liar yang tumbuh lebih gagah. Rumput itu menjalar ke mana-mana, mengikat batang jagung yang sekarat seolah menertawakan janji-janji pembangunan yang tak pernah ditepati.
Lahan itu bukan lagi lokasi program pangan, ia berubah menjadi kuburan sunyi bagi sebuah harapan kolektif.
Yang lebih menyakitkan, semua ini terjadi sementara Kepala Desa Bori berdiri di kejauhan diam, acuh, dan seolah tak peduli. Program yang dibiayai dari dana desa, uang rakyat, dibiarkan berjalan tanpa arah.
Tak ada pengawasan, tak ada perawatan, tak ada keseriusan, seakan-akan program itu hanya penting saat seremonial dimulai, lalu dilupakan begitu saja.
Padahal warga pernah menggantungkan mimpi besar pada lahan itu. Mereka pernah membayangkan kobong jagung tersebut menjadi percontohan, menjadi kebanggaan desa, bahkan menjadi bukti bahwa kampung kecil pun bisa berdiri tegak dengan swasembada pangan.
Namun kini, warga hanya bisa menyaksikan kekecewaan tumbuh sama suburnya dengan rumput liar.
Seorang warga menahan emosi sambil berkata penuh getir:
“Kitong kira itu kobong mo jadi contoh bagi desa-desa lain, terutama torang orang kampong, tapi deng cara bagitu mo jadi contoh apa?”
Kalimat itu seperti pukulan telak bukan hanya bagi pemerintah desa, tetapi bagi siapa pun yang pernah percaya bahwa program ini lahir untuk rakyat.
Di Desa Bori, yang tumbuh subur bukan jagung.
Yang tumbuh adalah rumput, dan kekecewaan.
Redaksi:

Social Header