Breaking News

Tragedi Affan Kurniawan: Ujian Serius Pemerintahan


          Penulis : Ibrahim BS


Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA,


JAKARTA, Global Netizen id
 Demonstrasi buruh di depan Gedung MPR/DPR yang terjadi hari Kamis, 28 Agustus 2025 berakhir tragis. Seorang pengemudi ojek online (ojol) Affan Kuniawan yang sedang mengantarkan orderan meregang nyawa setelah dilindas kendaraan taktis Brimob Bharakuda. Peristiwa ini seketika memantik simpati sekaligus kemarahan publik, serta membuka pertanyaan mendasar: bagaimana negara seharusnya melindungi rakyat saat mereka menyalurkan aspirasi?


Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN sekaligus mantan Dirjen Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA, menyebut pemerintah berada pada titik krusial.



 Menurutnya, respon pemerintah akan menentukan apakah situasi bisa mereda atau justru melebar menjadi gejolak sosial yang sulit dikendalikan. “Kalau pemerintah bisa meyakinkan masyarakat bahwa kejadian ini murni pelanggaran SOP, menindak tegas oknumnya, dan menunjukkan penyesalan mendalam, maka peluang eskalasi bisa ditekan,” ujar Prof Djohermansyah dalam percakapan via telepon seluler (30/8/2025) di Jakarta. 



Langkah konkret, lanjutnya, harus mencakup kompensasi layak, santunan (diyat) kepada keluarga korban, hingga pengurusan pemakaman yang manusiawi. Negara dituntut hadir bukan hanya lewat pernyataan, tetapi juga tindakan nyata.



Namun ancaman lain datang dari komunitas ojol itu sendiri. Solidaritas di kalangan mereka dikenal sangat kuat. Bila mereka menilai kasus ini ditangani secara setengah hati, gelombang protes baru bisa bermunculan di berbagai wilayah.



 “Solidaritas ojol ini tidak bisa diremehkan. Kalau mereka merasa tidak diperlakukan adil, maka protes bisa berkembang lebih besar, bahkan meluas ke lapisan masyarakat lain,” seperti mahasiswa, dan buruh, tegas Prof. Djohermansyah.



Insiden ini juga timbul di tengah akumulasi kekecewaan publik. Dari tuntutan buruh soal UMR, keresahan mahasiswa terhadap ucapan dan tindakan anggota DPR yang tak berempati kepada rakyat yang makin sulit ekonominya, hingga beban pajak yang dinilai mencekik.



 Belum lagi perilaku elit pemerintah yang sering memantik kontroversi dalam membuat kebijakan, seperti efisiensi cuma slogan, kenyataannya organisasi pemerintah tetap dipergemuk. Badan baru dan kementerian baru tetap dibentuk. Kematian seorang anggota ojol menjadi simbol dari ledakan masalah yang selama ini terpendam di dalam benak masyarakat.



Dari sisi politik, konsep "all politics is local" kembali terbukti.. Gejolak di satu daerah bisa merembet ke nasional, apalagi bila elit politik ikut mengendarai isu. Bila hanya rakyat biasa yang bergerak, kemungkinan protes akan surut dengan waktu. Namun, jika elit turut serta, tekanan terhadap pemerintah bisa menjadi keras, sistematis, dan berkepanjangan.


Tak kalah penting adalah aspek hak asasi manusia. Demonstrasi merupakan hak konstitusional, dan negara berkewajiban menjamin keselamatan warga. Reformasi kepolisian yang berorientasi pada polisi pengayom dan evaluasi SOP pengamanan unjuk rasa menjadi mendesak tak bisa ditunda tunda lagi terkait misalnya larangan penggunaan senjata api, pengendalian ketat kendaraan taktis, serta penggunaan gas air mata yang terukur.



 Peran Komnas HAM dan Kementerian HAM pun diharapkan lebih aktif, tidak hanya memperbaiki regulasi, tetapi juga hadir melindungi warga dari potensi kekerasan aparat. Bila tidak, mubazir saja adanya kementerian HAM itu.


Tragedi Affan sang pengemudi ojol bukan sekadar insiden keamanan. Ia adalah ujian serius bagi pemerintah dalam membuktikan komitmen melindungi rakyat, menghormati hak asasi, dan meredam gejolak sosial. Bila langkah yang diambil pemerintah dan DPR hanya bersifat simbolis, tak konkret, atau "tak tanggap ing sasmita' maka bara ketidakpuasan bisa menyala lebih besar. Pemerintah kini dihadapkan pada pilihan: menghadapi rakyat dengan men-deliver keadilan, atau kehilangan kepercayaan.
© Copyright 2022 - Global Netizen