JAKARTA,Global Netizen id
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sekaligus mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (2010–2014), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A, menegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bertanggung jawab penuh atas munculnya kontroversi terkait dugaan ijazah palsu dalam proses pemilu.
Menurutnya, dokumen pendaftaran calon peserta pemilu, termasuk ijazah, adalah dokumen terbuka yang wajib diakses publik sebagai bagian dari kontrol demokrasi.
> “Ijazah berbeda dengan dokumen kesehatan seorang calon. Ia memang bisa diumumkan ke publik sehingga semua pihak bisa melihat dan menilai kebenarannya. Apalagi ijazah itu menjadi salah satu syarat utama dalam pendaftaran pemilu,” tegas Prof. Djohermansyah Djohan, Minggu (22/9/2025).
Kewajiban KPU Membuka Dokumen Publik
Prof. Djohermansyah menekankan, KPU tidak boleh menutup-nutupi arsip ijazah para kandidat. Pasalnya, aturan keterbukaan informasi publik sudah jelas mengatur bahwa dokumen tersebut bisa diakses oleh masyarakat.
Selain itu, dokumen syarat calon kepala daerah juga akan diteruskan KPU ke Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, untuk kemudian dijadikan arsip negara dan dasar pelantikan oleh Mendagri di level bupati dan walikota serta pelantikan oleh Presiden dilevel gubernur.
“Ini sangat krusial. Bila publik mempertanyakan keabsahan dokumen tersebut, KPU harus siap membuka dan menjelaskan secara transparan,” ujarnya.
*Perlunya Aturan Lebih Ketat*
Menyikapi maraknya kasus pemalsuan ijazah pejabat publik, Prof. Djohermansyah mendorong agar KPU segera menyusun regulasi baru yang lebih ketat dan rinci. Tujuannya, agar kontroversi serupa tidak terus berulang.
“Sudah banyak pejabat publik yang dipecat bahkan dipidana karena menggunakan ijazah palsu. Karena itu KPU harus segera memperbaiki aturan agar lebih jelas, detail, dan tidak multitafsir,” jelasnya.
Kasus Jokowi Jadi Pelajaran Penting
Dalam konteks kontroversi dugaan ijazah Presiden Joko Widodo, Prof. Djohermansyah menilai KPU ikut memiliki andil dalam kekisruhan tersebut.
“Aturan KPU masih kurang ketat. Inilah yang membuat publik bisa berspekulasi. Kasus kali ini harus menjadi pelajaran penting bahwa KPU wajib menutup celah dari aturan yang lemah,” tandasnya.
Prof. Djohermansyah, yang juga pernah menjadi Media Adviser KPU, mengingatkan bahwa penyelenggara pemilu bukan hanya berperan sebagai pelaksana teknis, tetapi juga penjamin legitimasi demokrasi. Karena itu, setiap dokumen calon harus dijaga transparansi dan keabsahannya demi menjaga kepercayaan publik.
Apalagi permasalahan baru pun mencuat akibat PKPU No. 731 Tahun 2025 yang menetapkan dokumen persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden, termasuk ijazah, sebagai informasi yang dikecualikan dari akses publik, walau akhirnya di anulir.
Social Header