JAKARTA, Global Netizen id
Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk dua badan baru yang berperan strategis dalam pembangunan nasional. Pertama, Badan Industri Mineral (BIM) yang bertugas mengelola industrialisasi dan tata kelola mineral strategis nasional. Kedua, Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa, yang berfokus pada tata ruang, pengelolaan, dan pengembangan kawasan pesisir utara Pulau Jawa.
Langkah ini menuai sorotan publik dan juga Prof. Dr. Djohermansyah Djohan. M.A, Guru Besar IPDN sekaligus pakar birokrasi pemerintahan dan otonomi daerah .
Menurut Prof Djo di satu sisi, ini dianggap sebagai terobosan untuk mempercepat hilirisasi industri dan pengelolaan kawasan strategis. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan tentang urgensi, potensi tumpang tindih kewenangan, hingga beban keuangan negara.
*Persoalan Tumpang Tindih Kewenangan*
Pembentukan badan baru tentu bersinggungan dengan lembaga dan kementerian yang selama ini menangani isu serupa. BIM berpotensi mengambil alih kewenangan Kementerian ESDM terkait tata kelola mineral strategis.
Badan Otorita Pantura akan bersinggungan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, juga pemerintah daerah di sepanjang pesisir utara Jawa. Pertanyaannya, apakah kementerian dan lembaga tersebut rela melepas kewenangannya? “Dalam praktik birokrasi, sering kali terjadi resistensi: kewenangan ditahan, digandoli, atau bahkan ditolak dilepas. Ini bisa membuat lembaga baru justru tidak efektif,” ujar Djohermansyah Djohan kepada wartawan lewat percakapan telepon selular (28/8/2025).
*Efisiensi vs Biaya Baru*
Di atas kertas, badan baru diharapkan meningkatkan efisiensi. Namun faktanya, setiap lembaga baru berarti tambahan biaya: gedung, fasilitas, staf, pejabat, hingga anggaran operasional.
Padahal, APBN sedang dalam kondisi berat dengan beban utang yang cukup besar. Jika efisiensi menjadi alasan, maka logika ini bisa dipertanyakan, sebab overhead cost justru bertambah.
Kritik serupa sebelumnya muncul ketika pemerintah menggulirkan wacana Kementerian Haji dan Umrah. Alih-alih memperbaiki pelayanan, langkah itu justru dianggap hanya memindahkan masalah lama ke wadah baru dengan birokrasi yang lebih gemuk.
Meski demikian, pemerintah berdalih bahwa kedua badan baru ini menjawab kebutuhan strategis.
BIM diarahkan untuk memperkuat hilirisasi mineral strategis dengan pendekatan riset dan pengembangan (Research &Development). Menteri Ristek bahkan digadang menjadi figur kunci, menandakan fokus pada inovasi sebelum masuk ke tata kelola teknis.
Badan Otorita Pantura dibentuk karena pengelolaan kawasan pesisir utara Jawa selama ini dianggap kurang efektif. Pemerintah pusat ingin memastikan adanya otoritas tunggal yang mengatur tata ruang, investasi, hingga pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut.
Namun perdebatan muncul: apakah ini benar kebutuhan rakyat pesisir, atau ambisi pemerintah pusat yang gemar membangun proyek-proyek besar? Masyarakat di pesisir lebih membutuhkan perbaikan ekonomi, pengembangan usaha perikanan, dan peningkatan pendapatan, bukan sekadar badan baru.
Menurut Prof Djohermansyah akan ada dua tantangan utama yang harus dijawab pemerintah:
Kesiapan birokrasi – apakah kementerian dan lembaga eksisting mau menyerahkan kewenangannya dengan ikhlas?
Kapasitas fiskal – apakah APBN mampu menanggung biaya tambahan tanpa menabrak logika efisiensi?
Tanpa jawaban tegas, pembentukan badan baru berisiko hanya menambah beban, bukan solusi.
Pemerintah baru memang ingin menunjukkan gebrakan dengan melahirkan lembaga-lembaga baru. Namun, pembentukan badan industri mineral dan badan otorita Pantura harus dipastikan tidak sekadar menambah struktur, melainkan benar-benar memberi manfaat nyata bagi rakyat.
Jika tidak hati-hati, langkah ini bisa menjadi jebakan birokrasi: organisasi bertambah gemuk, biaya meningkat, tetapi pelayanan publik tetap stagnan.*(Emha_Beng Aryanto)

Social Header